Oleh : Dr. M. Anugrah Arifin, M.Pd.I
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي اَنَارَ قُلُوْبَ عِبَادِ الْمُتَّقِيْنَ بِنُوْرِ كِتَابِهِ الْمُبِيْنَ, وَجَعَلَ الْقُرْاَنَ شِفَاءً لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ, وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى خَاتِمِ الْأَنْبِيَاءِ وَ أَشْرَفِ الْمُرْسَلِيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
Mengajarkan Al-Qur’an adalah amaliah mulia yang menduduki posisi istimewa dalam Islam. Namun, dalam realita kehidupan banyak guru ngaji (ust/ustadzah) yang seringkali berada di bawah garis kemiskinan dan hidup serba kekurangan ditengah tuntunan kehidupan rumah tangga yang terus meningkat. Ibarat kata, guru ngaji menjadi serba salah; jika tidak mengajar di cap ilmunya tidak barokah, saat fokus mengajar dicibir malas mencari nafkah, saat ngajar tanpa menerima upah disangka sombong, saat mengajar dengan mematok tarif dan menerima upah diklaim Hubbud dunya dan tidak Ikhlas. Sungguh keadaan yang serba dilematis, oleh karena itu dalam tulisan singkat ini mari kita kaji bersama bagaimana pandangan para Ulama’ tentang Upah/Honor/gaji yang diterima oleh guru ngaji dan para pengajar agama.
Dalil-Dalil Syar’i tentang Menerima Upah Mengajar Al-Qur’an
Pada umumnya transaksi membayar jasa termasuk dalam BAB Mu’amalah yang hukum asalnya boleh berdasarkan kaedah :
الأصلُ في الأشياءِ الإباحةُ
“Asal dari segala sesuatu boleh”
Dalam pandangan ulama’ ahli ushul[1] kaedah diatas bermakna segala sesuau yang bermanfaat hukum asalnya boleh sampe ada dalil yang menunjukan hukum sebaliknya namun, karena pembahasan upah yang dimaksud dalam pembahasan ini secara spesifik terkait langsung dengan membaca atau proses pengajaran Al-Qur’an yang merupakan Ibadah sehingga memantik munculnya berbagai hal yang dipersoalkan umat Islam tentang status kehalalan upah yang diterima para guru ngaji yang berujung pada klaim minimnya keikhlasan, komersialisasi ayat-ayat (agama) Allah sampai persoalan etika yang dikritik berat sebelah; hanya menuntut guru ngaji tanpa menghadirkan solusi terhadap beratnya realita kehidupan ekonomi yang dijalani para guru ngaji. Persoalan hukum menerima upah mengajarkan Al-Qur’an telah dibahas para Ulama’ diantaranya penjelasan Imam An-Nawawi dalam at-tibyan bahwa Imam Abu Sulaiman Al-Khattabi menyampaikan fatwa terkait larangan mengambil upah mengajarkan Al-Qur’an yang disaandarkan pada sejumlah ulama, di antaranya Az Zuhri dan Abu Hanifah. Dengan berlandaskan pada keyakinan umum bahwa belajar, mengajarkan maupun membacakan Al-Qur’an adalah Ibadah yang harus dilandaskan pada keikhlasan dan tidak perlu diupah terlebih lagi Nabi ﷺ pernah menegur sahabat beliau yang menerima upah dari mengajarkan Al-Qur’an sebagai mana Riwayat berikut :
عبادة بن الصامت رضي الله عنه اَنّه عَلّمَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَةِ القُرْآنَ فَأَهْدَى لَهُ قَوْسًاً ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ : « إِنْ سَرَّكَ أنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقاً مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْها ( وَهُوَ حَدِيثُ مَشْهُورٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ )
Ubadah bin Shamit mengisahkan bahwa dia mengajarkan Al-Qur’an kepada seorang lelaki penghuni Shuffah, kemudia dihadiahkan kepadanya sebuah busur. Maka Nabi s.a.w berkata kepadanya: “Jika engkau suka dipakaikan kalung dari api di lehermu, maka terimalah hadiah itu.” Hadits itu adalah hadits masyur yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya.
Hadits diatas secara tersirat mengandung kecaman Rosululah ﷺ kepada Ubadah bin Shamit yang dipahami sebagai larangan menerima upah mengajarkan Al-Quran. Namun, hadits diatas dikritisi oleh Imam An-Nawawi karena dalam sanadnya terdapat kritik dari berbagai ahli hadits, sehingga tidak sepenuhnya dapat diterima sebagai dalil larangan menerima upah bagi guru ngaji.[2]
Selanjutnya, para ulama’ yang membolehkan penerimaan upah bagi guru ngaji terbagi menjadi 2 kelompok; Kelompok pertama, membolehkan dengan syarat tidak ada akad perjanjian upah sebelumnya yang berarti pemberian tersebut bersifat hadiah sukarela. Pendapat ini dikemukakan oleh sejumlah ulama lainnya seperti; Hasan Bashri, As-Sya’bi dan Ibnu Sirrin. Kelompok ke dua: membolehkan dengan syarat adanya akad perjanjian upah jasa yang jelas untuk mengajarkan Al-Qur’an sebelum proses kegiatan belajar mengajar dimulai. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Atho’, Imam Malik, Imam As-Syafi’i dan ulama’ lainnya yang sependapat dengan beliau.[3] Dari kedua pendapat tersebut pendapat kelompok yang kedua lebih rajih karena terdapat beberapa dalil pendukung lain yang mengokohkan baik secara historis maupun kondisi faktual keadaan guru ngaji di era modern saat ini. Secara historis Rosulullah ﷺ pernah memberikan respon positif terhadap Ijtihad Para sahabat yang “meminta upah” saat membacakan Al-Qur’an sebagaimana terekam dalam Riwayat berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ، إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ، فَقَالُوا: هَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ؟ فَقَالُوا: إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا، وَلَا نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا، فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ القُرْآنِ، وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفِلُ، فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ، فَقَالُوا: لَا نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلُوهُ فَضَحِكَ وَقَال: “وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ، خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ“.[4]
Diriwayatkan dari Sahabat Abi Said Al-Khudri Radliyallahu ‘Anhu bahwa sekelompok sahabat mendatangi suatu kabilah dari beberapa kabilah Arab, namun mereka tidak mempersilakan masuk terhadap para sahabat. Hal itu terus berlangsung, sampai suatu ketika pemuka kabilah tersebut digigit (ular), lalu mereka berkata ‘Apakah kalian membawa obat atau adakah orang yang bisa meruqyah?’ Para sahabat pun menjawab ‘Kalian tidak mempersilakan masuk pada kami, kami tidak akan meruqyahnya (mengobatinya) sampai kalian memberikan upah pada kami.’ lalu mereka pun memberikan beberapa potongan kambing sebagai upah, lalu seorang sahabat membaca Surat Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya lalu mengeluarkannya (baca: melepeh) hingga sembuhlah pemuka kabilah yang tergigit ular, dan mereka memberikan seekor kambing. Para sahabat berkata, ‘Kami tidak akan mengambilnya, sampai kami bertanya pada Rasulullah.’ Mereka pun menanyakan perihal kejadian tersebut pada Rasulullah, beliau lalu tertawa dan berkata: ‘dari mana kau mengetahui bahwa Al-Fatihah adalah ayat Ruqyah? Ambillah, dan berilah bagian untukku’.” (HR Bukhari)
Riwayat diatas memberikan informasi tentang “akad transaksi” yang dilakukan oleh Said Al-Khudri r.a sebelum membacakan Al-Qur’an yang dilatar belakangi oleh sikap “penolakan” kabilah tersebut terhadap kehadiran para sahabat Nabi yang menyulitkan kondisi rombongan sahabat Said Al-Khudri r.a saat bermalam diwilayah kabilah tersebut sehingga beliau mengajukan akad syarat memberikan upah sebelum melakukan Ruqyah dengan membacakan Al-Fatihah (Al-Qur’an) pada kepala kabilah tersebut selama 3 hari 3 malam diwaktu pagi dan petang[5] kemudian menerima upah berupa seekor kambing yang kebolehannya secara langsung dikonfimasi oleh Rosulullah ﷺ . “Kontrak Kerja” sederhana antara para sahabat dengan kabilah tersebut menggambarkan proses pengajaran dan pembacaan Al-Qur’an dalam prepektif mu’amalah sebagai sebuah jasa yang terikat dengan kaedah-kaedah tijarah, bukan hanya ‘ibadah Mahdhoh yang harus murni sebagai bentuk pengabdian kepada Allah ﷻ. Dalam Riwayat yang lain Rosulullah ﷺ bersabda :
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْ تُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ[6]
Hadits Sahih Riwayat Bukhari dan Muslim: “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya yang paling berhak kamu ambil upah atasnya adalah Kitabullah (Al-Qur’an).” (HR. Al-Bukhari)
As-Suyuti menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang agung yang sudah pasti berpahala dalam membaca dan mengajarkannya, dan hadits tersebut menegaskan kebolehan mengambil upah/gaji mengajarkan atau membacakan Al-Qur’an kepada orang lain[7] sebab mengajarkan Al-Qur’an memiliki muatan nilai ekonomis/harga/’Ajr sehingga tindakan mengajarkan Al-Qur’an dapat dihitung sebagai “Jasa” yang upahnya dapat terukur dan diikat dengan akad Tijaroh/ Perdagangan yang dikuatkan dalam riwayat tindakan seorang sahabat ketika menjadikan mengajarkan Al-Qur’an kepada seorang wanita sebagai maskawin pernikahannya dan Nabi ﷺ membenarkan hal tersebut setelah memerintahkan sahabatnya untuk mencari maskawin lain yang memiliki nilai ekonomis, yang berarti beliau mengakui adanya dimensi nilai ekonomis/’ajr dalam mengajarkan Al-Qur’an. Rosulullah ﷺ bersabda :
… اذْهَبْ فَقَدْ مُلِّكْتَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ[8]
“…Pergi bawalah dia, saya telah nikahkan kamu dengannya, dengan maskawin mengajarkan Al Qur’an yang kamu hafal.”
Penutup
Mencermati pandangan para ulama’ madzhab dan uaraian diatas serta dengan memperhatikan realita sosial kehidupan para guru ngaji yang kebanyakan berada dalam lingkaran ekonomi menengah kebawah maka dapat disimpulkan bahwa :
memberikan gaji/upah pada guru ngaji maupun pengajar agama secara umum Hukumnya Mubah
sebelum memperkerjakan seorang guru ngaji, yayasan, Lembaga atau perorangan hendaknya membuat akad perjanjian kerja yang memuat ketentuan gaji dan hal-hal lainnya di awal,
memberikan gaji/upah pada guru ngaji atau pengajar agama menjadi KEWAJIBAN bagi Yayasan, Lembaga Qur’an atau perseorangan yang telah menyepakati perjanjian/akad soal besaran upah tertentu sebagai “imbalan Jasa pengajaran”,
guru ngaji hendaknya menjaga keikhlasan hati dan senantiasa berharap pahala dari Allah ﷻ atas usahanya dalam mendakwahkan dan mengajarkan Al-Qur’an,
guru ngaji hendaknya berupaya sekuat tenaga untuk professional dan disiplin dalam mengajarkan Al-Qur’an/agama sesuai dengan akad perjanjian kerja,
jika memungkinkan, guru ngaji sangat direkomendasikan untuk memiliki penghasilan lain sehingga tidak “hanya” menggantungkan kehidupan dari belajar dan mengajarkan Al-Qur’an,
Untuk menjaga keikhlasan Para Guru Ngaji, Pemerintah, Masyarakat, Lembaga atau Yayasan yang memanfaatkan dan membutuhkan tenaga guru ngaji hendaknya berinisiatif memberikan gaji/upah yang “Layak” atau yang telah disepakati tepat waktu serta ikut memikirkan kesejahterahan hidup Guru Ngaji.
Akhirnya, marilah kita pahami bersama bahwa Mengajarkan Al-Qur’an adalah kemuliaan. Menghargai jasa para pengajarnya dengan imbalan yang layak dan halal merupakan “KEWAJIBAN KOLEKTIF” yang juga mulia. Syariat telah membuka pintu kehalalan. Realita kemiskinan guru ngaji adalah “tantangan bagi keimanan dan kepedulian sosial kita semua. Mari kita wujudkan penghargaan yang nyata, bukan hanya pujian di lisan. Dengan menyejahterakan guru ngaji, kita menjaga kemurnian dan keberlangsungan sanad ilmu Al-Qur’an, serta mengamalkan sabda Nabi SAW: “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari). Semoga Allah memberkahi para guru ngaji dan memberikan kita kesadaran untuk memuliakannya.
REFERENSI
[1] “المَطلبُ الثَّامِنُ: الأصلُ في الأشياءِ الإباحةُ,” dorar.net, accessed July 22, 2025, https://dorar.net/qfiqhia/309/المطلب-الثامن-الأصل-في-الأشياء-الإباحة.
[2] Abu Zakaria Yahya Syarafuddin An-Nawawi, At-Tibyan Fii Adabi Hamalatil Quran, (Surabaya: Al-Hidayah, 2014).
[3] Abu Zakaria Yahya Syarafuddin An-Nawawi, 53–54.
[4] “ص37 – كتاب منحة الباري بشرح صحيح البخاري – باب الرقى بالقرآن والمعوذات – المكتبة الشاملة,” accessed July 22, 2025, https://shamela.ws/book/18106/5269#p12.
[5] “ص148 – الذكر والدعاء والعلاج بالرقي من الكتاب والسنة – ما يقال ويقرأ على المجنون والمعتوه – المكتبة الشاملة,” accessed July 25, 2025, https://shamela.ws/book/16625/147#p1.
[6] Abu Abdullah Muhammad bin Ismai Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Ílmiyah, 1992).
[7] Abdurrahman, Jalaluddin bin Abi Bakr as-Suyuti, Al-Jami’u ashShagir, Juz I (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt).
[8] Abi al-Husaini Muslim bin al-Hujaj al-Qasyiri al-Nasaburi, Shahih Muslim, Juz 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998).



One Response
Mantap