Pendidikan Al-Qur’an & Perubahan Karakter Anak
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي اَنَارَ قُلُوْبَ عِبَادِ الْمُتَّقِيْنَ بِنُوْرِ كِتَابِهِ الْمُبِيْنَ, وَجَعَلَ الْقُرْاَنَ شِفَاءً لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ, وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى خَاتِمِ الْأَنْبِيَاءِ وَ أَشْرَفِ الْمُرْسَلِيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
Problematika penurunan akhlak peserta didik dari usia anak sampai remaja menjadi salah satu persoalan pendidikan yang sangat sulit untuk diatasi terlebih pada era digital yang hampir tampa batasan. Berbagai pendekatan pun diupayakan untuk menuntaskan persoalan tersebut yang terfokus pada penguatan pendidikan karakter dan moralitas di lingkungan sekolah dan masyarakat; mulai dari penguatan pendidikan karakter dalam kurikulum, pelatihan guru dalam pendidikan moral, serta peningkatan peran orang tua dan masyarakat dalam pembentukan karakter anak. Dalam prespektif Islam, pendidikan berbasis Al-Qur’an menjadi salah satu pendekatan paling efektif untuk membentuk akhlak al-karimah sekaligus meningkatkan ilmu pengetahuan peserta didik sebab Al-Qur’an diturunkan bukan hanya sebagai bacaan semata, namun juga menjadi pedoman yang dapat membentuk karakter mulia. Kemampuan Al-Qur’an untuk membentuk sikap dan prilaku mulia terwujud dalam efek penguatan nilai Aqidah maupun Akhlak seseorang saat meningkatkan interaksinya dengan Al-Qur’an sebagaimana analogi indah yang disampaikan dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلَا رِيحَ لَهَا وَمَثَلُ الْمُنَافِق الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِق الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلَا رِيحَ لَهَا “
“Perumpamaan seorang Mukmin yang suka membaca Al Quran seperti buah Utrujah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang Mukmin yang tidak suka membaca Al Quran seperti buah kurma, tidak berbau namun rasanya manis. Perumpamaan seorang Munafik yang suka membaca Al Quran seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan Perumpamaan seorang Munafik yang tidak suka membaca Al Quran seperti buah hanzhalah, tidak berbau dan rasanya pahit. ( HR. Bukhari)”
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa aroma dan rasa yang terdapat pada 4 jenis buah dalam hadits di atas mewakili Aqidah dan Akhlak seseorang. Artinya, hadits di atas merupakan perumpamaan bahwa intensitas interaksi seseorang dengan Al-Qur’an akan memberikan pengaruh pada Aqidah dan akhlaknya baik orang beriman maupun munafik. Orang beriman yang memiliki tingkat interaksi tinggi dengan Al-Qur’an secara otomatis akan beraqidah lurus dan berakhlak mulia, sebaliknya seorang mu’min yang jarang berinteraksi dengan Al-Qur’an boleh jadi memiliki aqidah yang lurus namun akhlak sosialnya kurang dirasakan masyarakat. Seorang munafik tentu memiliki keimanan yang dangkal namun seorang munafik yang aktif membaca Al-Qur’an akan dipengaruhi oleh nilai kebaikan Al-Qur’an sehingga dikenal sebagai sosok yang berakhlak baik ditengah kehidupan bermasyarakat dan sebaliknya, seorang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an akan menjadi pribadi yang buruk baik secara keimanan maupun akhlak sosialnya.
Jika ilustrasi diatas ditarik dalam konteks kekinian khususnya dalam konteks Pendidikan Anak, sejatinya hadits tersebut memberikan informasi pentingnya pendidikan Al-Qur’an pada masa usia dini, anak dan remaja sebab interaksi seorang muslim dengan Al-Quran pada masa-masa tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat kuwalitas Aqidah dan Akhlak mereka. Sebab anak bagaikan kertas putih bersih yang sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Secara khusus Ibnu Katsir rah memberi penekanan akan pentingnya pendidikan berbasis Al-Qur’an dalam Qoulnya :
“تعليم القرآن في الصبا ، قد يكون مستحبًا أو واجبًا ؛ لأن الصبي إذا تعلم القرآن بلغ وهو يعرف ما يصلى به ، وحفظه في الصغر أولى من حفظه كبيرًا وأشد علوقًا بخاطره ، وأرسخ وأثبت كما هو المعهود من حال الناس”
“Mengajarkan Al-Qur’an di masa kecil bisa jadi sunnah atau wajib, karena jika seorang anak belajar Al-Qur’an, maka ia akan menjadi dewasa dan tahu apa yang harus dibaca. Menghafal Al-Qur’an di masa kecil lebih baik daripada menghafalnya di masa dewasa, dan lebih kuat tertanam di benaknya, lebih dalam dan mapan sebagaimana keadaan manusia pada umumnya.”
Dalam Qoul di atas, Ibnu Katsir tidak hanya menekankan pentingnya membaca, namun juga menghafal dan mempelajari Al-Quran sejak usia dini sebab fitrah umumnya Akal Manusia akan lebih mudah mengingat hafalan Al-Quran di usia dini. Jika seorang muslim dapat menyelesaikan hafalan Al-Qur’anya pada usia dini sampai usia anak maka pada usia remaja dan dewasa akan jauh lebih mudah baginya dalam memahami, mengeksplorasi dan mengamalkan kandungan Al-Quran, baik dalam kaitannya dengan urusan agama maupun pengembangan IPTEK yang diringi dengan pengembangan karakter Akhlak Al-Karimah sebagai efek positif dari pembacaan, pemaknaan dan pendalaman terhadap Al-Qur’an. Tentu saja, tujuan tersebut akan tercapai jika nilai dalam Al-Qur’an dapat dibaca, dipahami dan diamalkan dengan sungguh-sungguh melalui pendidikan keluarga, lembaga/sekolah maupun masyarakat yang terukur dan terarah dengan berbagai pengembangan kompetensi anak yang berbasis pada Al-Qur’an.
Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ penulis mengakhiri tulisan ini dengan menasihati diri pribadi dan kita semua terutama para orang tua agar dapat mengupayakan langkah-langkah berikut dengan sungguh-sungguh untuk mengakrabkan anak dengan Al-Qur’an demi mewujudkan karakter keimanan, ilmu dan akhlak mulia pada generasi anak-anak kita, yaitu : 1) Jadilah teladan bagi anak-anak dalam Ibadah dan Akhlak dengan meningkatkan interaksi dengan Al-Qur’an, 2) Bentuk lingkungan keluarga yang kondusif untuk anak aktif berinteraksi dengan Al-Quran, 3) Libatkan anak diusia sedini mungkin untuk aktif belajar dan bermain pada lingkungan sekolah/madrasah yang berbasis Al-Qur’an dengan kurikulum, program dan target yang jelas dan terukur, 4) Pilih lingkungan pergaulan (masyarakat, sekolah maupun media sosial) yang berbasis pada nila-nilai Islam, 5) Bangun komitmen bersama keluarga untuk mencapai target tadarus maupun menghafal Al-Qur’an secara bertahap dalam waktu khusus hingga menjadi kebiasaan dalam keluarga. Wallahu a’lam bi ash-showab.
Refrensi :
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari. Shahih Al-Bukhari. Riyadh: Maktabah Dar As-Salam, 1419.
Abu Zakaria Yahya Syarafuddin An-Nawawi. At-Tibyan Fii Adabi Hamalatil Quran,. Surabaya: Al-Hidayah, 2014.
Al-Hafz Ibnu Katsir al-Dimasyqi,. Tafsir Al-Qur’an Al-Azim. Bairut: Dar Al-Fikr, 1992.
Suhartono, S., and Nur Rahma Yulieta. “PENDIDIKAN AKHLAK ANAK DI ERA DIGITAL.” At Turots: Jurnal Pendidikan Islam (December 1, 2019): 36–53.
Dr. M. Anugrah Arifin, M.Pd.I
Khadim Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Riyadhul Mubarok.
Dosen & Praktisi Pendidikan Islam di Universitas Muhammadiyah Mataram.


